Ende City of Tolerance : Praktik Toleransi dan Relevansinya dengan Penerapan Nilai-Nilai Pancasila
Main Article Content
Abstract
Artikel ini mengeksplorasi tentang praktik toleransi di Ende dan relevansinya dengan penerapan nilai-nilai Pancasila, melalui dua pertanyaan: mengapa Ende disebut sebagai city of tolerance? Bagaimana relevansi Ende sebagai city of tolerance dengan penerapan nilai-nilai Pancasila? Metode yang digunakan dalam menganalisa berdasarkan kajian sosiologis tentang dimensi multikulturalisme, sebagaimana dirumuskan oleh Bikhu Parekh dalam tiga hal: kebudayaan, pluralitas, dan cara meresponsnya. Peneliti telah melakukan observasi lapangan, olah data, dan kajian, yang hasilnya sebagai berikut. Contoh praktik toleransi di Ende sebagai city of tolerance, seperti interaksi sosial yang tidak membeda-bedakan latar belakang agama maupun etnis; perayaan hari-hari besar keagamaan, hingga pernikahan beda agama (kawin mawin), terutama antara umat Katolik dan Islam, tanpa harus pindah ke salah satu agama, dan lain-lain. Peneliti berpendapat, bahwa masyarakat Ende tidak sekadar melaksanakan toleransi dalam arti pasif, sekadar wacana atau pengetahuan semata, tetapi telah mempraktikkan toleransi aktif, atau lazim disebut juga dengan koeksistensi. Koeksistensi melampaui toleransi, sebab, toleransi adalah persoalan kebiasaan dan perasaan pribadi, sementara koeksistensi adalah penerimaan terhadap pihak lain yang berbeda sebagai upaya mencegah konflik. Praktik toleransi ini dengan sendirinya memiliki relevansi dengan nilai-nilai Pancasila. Di antara unsurnya adalah semangat gotong royong. Semangat gotong royong menunjukkan perilaku Pancasilais. Bahkan oleh Sukarno, gotong royong merupakan inti dari Pancasila, yang ia sebut dengan Eka Sila.
Downloads
Article Details
This work is licensed under a Creative Commons Attribution-NonCommercial 4.0 International License.